Setiap pagi, ketika sebagian besar orang masih terlelap dalam mimpi, seorang perempuan bernama Ustadzah Lilik sudah bersiap meninggalkan rumah kecilnya di Demak. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 04.00 pagi, namun beliau sudah memulai perjalanannya sejauh 50 kilometer menuju tempatnya mengab di sebuah SD IT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) di Kota Semarang.
Di tengah dinginnya udara pagi dan jalan yang masih sepi, sepeda motor tuanya melaju perlahan menembus kabut. Bagi sebagian orang, jarak itu mungkin terasa melelahkan. Tapi bagi Ustadzah Lilik, setiap kilometer yang ditempuh adalah langkah menuju keberkahan ilmu.
Perjuangan di Antara Dua Kota
Setiap hari, beliau menempuh perjalanan hampir 100 kilometer pulang-pergi. Gajinya yang hanya setara UMR bahkan sering kali habis untuk biaya bensin dan makan sederhana di perjalanan. Namun, tidak sekalipun terlintas di benaknya untuk menyerah.
“Kalau bukan karena niat lillah, mungkin saya sudah berhenti sejak dulu,” katanya sambil tersenyum lemah suatu kali.
Beliau memilih tidak mengontrak rumah di Semarang, karena gajinya tak akan cukup untuk membayar sewa dan kebutuhan sehari-hari. Maka dari itu, anak laki-lakinya dititipkan kepada orang tuanya di Demak, agar bisa tetap mendapatkan perhatian yang cukup ketika ibunya harus jauh bekerja.
Antara Tugas dan Rindu
Sore hari, selepas mengajar, beliau tidak langsung pulang. Ada rapat guru, kegiatan ekstrakurikuler, dan sering kali mengoreksi tugas murid hingga malam. Kadang, beliau baru sampai rumah pukul 10 malam, disambut senyum lelah dari ibunya dan pelukan rindu dari anak semata wayangnya.
“Umi capek, Nak?” tanya sang anak kecil suatu malam.
“Capeknya Umi hilang kalau lihat kamu senyum,” jawabnya sambil menahan air mata.
Guru yang Menghidupkan Cahaya
Di sekolah, murid-murid mengenalnya sebagai sosok yang selalu ceria dan penuh semangat. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum lembut itu, ada rasa lelah yang luar biasa, ada tanggung jawab besar yang terus beliau pikul setiap hari.
Beliau mengajar bukan untuk mengejar gaji, tetapi mengharap ridha Allah. Baginya, mengajarkan adab, membaca Al-Qur’an, dan menanamkan akhlak baik pada anak-anak adalah amal jariyah yang akan terus mengalir, bahkan setelah ia tiada.
Ikhlas yang Menjadi Cahaya
Ketika ditanya mengapa tetap bertahan, beliau hanya menjawab pelan,
“Karena saya yakin, rezeki tidak akan tertukar. Selama saya berjalan di jalan Allah, pasti ada cara-Nya menolong saya.”
Kalimat itu seolah menjadi pengingat bagi siapa pun yang mengenalnya — bahwa ketulusan dan keikhlasan tidak selalu dibayar dengan uang, tapi dengan ketenangan hati dan keberkahan hidup.
Penutup
Kini, kisah perjuangan Ustadzah Lilik menjadi inspirasi bagi banyak guru lain di sekolahnya. Beliau adalah bukti nyata bahwa guru bukan hanya pengajar, tapi juga pejuang tanpa tanda jasa — yang setiap harinya menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya keterbatasan.
Mungkin gajinya tidak seberapa, tapi nilai pengorbanannya tak ternilai. Dan di setiap langkahnya dari Demak ke Semarang, ada doa yang senantiasa terucap lirih:
“Ya Allah, jadikan lelah ini lillah.”

No comments:
Post a Comment